Jumat, 27 Mei 2011

Dunia Pendidikan Mulai Berputar Arah

Pada tahun 1983 sewaktu saya masih duduk di bangku kelas I Sekolah Pendidikan Guru, saya masih ingat betapa Indonesia begitu lama memperjuangkan "pendidikan untuk semua" tanpa memandang sikaya dan simiskin, anak pejabat atau petani, anak saudagar atau pedagang kaki lima, semuanya diperjuangkan untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak dan universal.
Maka dalam pelajaran sejarah pada saat itu masih di ceritakan bagaimana berdirinya INS Kayu Tanam di ranah Minang, yang memperjuangkan pendidikan bagi rakyat kelas rendah.
Banyak sekali tokoh yang mendirikan sekolah untuk meberantas apa yang dinamakan " DUALISME PENDIDIKAN.Hal ini karena pada masa penjajahan Belanda dulu, terjadi perbedaan pelayanan pendidikan anatara sikaya dan simiskin, anak raja dengan turunan rakyat jelata.
Semangat kemerdekaan menimbulkan rasa senasib dan sepenanggungan yang begitu dalam pada saat itu.Sekian lama kondisi seperti ini dapat berlangsung, rakyat merasa bahwa para pahlawan kita tidak sia-sia memperjuangkan kemerdekaan melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Se ingat saya guru saya pernah mengajarkan, bahwa bagi kita yang paling penting adalah mengisi kemerdekaan agar kita dapat mencapai tujuan nasional Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.
Zaman telah mulai berkata lain dan dunia pendidikan mulai berputar arah.Bahkan yang paling menyedihkan karena hal itu terjadi pada masa reformasi.
Euforia demokrasi malah kadang menjungkirbalikkan rasa senasib dan sepenanggungan bagi penduduk negeri ini.Lihatlah betapa mulai banyak didirikan sekolah yang diberi julukan SBI, Sekolah bertaraf internasional, yang jika ditelusuri, mungkin 20 % saja pun kita akan susah menemukan siswa yang berlatar belakang orangtua dengan derajat sosial yang umum ada disana, melainkan keturunan orang berduit.
Padahal masih ada dinegeri ini yang seharusnya punya hak duduk disana kalau pendidikan dinilai dari budi pekerti, kesungguhan dan kemampuan otak.
Tetapi karena ketiadaan dana, terpaksa ia mundur, sampai mendaftar sajapun tak berani. Ada yang mampu lulus testing di SMP dan SMA SBI, tapi gagal mengenyam pendidikan disana karena ketiadaan dana.Kalaulah benar SMA Taruna Nusantara meminta uang SPP Rp.2.500.000 perbulan, maka kalau boleh jujur anak PNS Eselon III saja udah tak mampu, jadi kapankah kami punya kesempatan?
Sekolah katanya gratis, tapi sekolah malah menjual buku yang bukan BSE, cari yang rabatnya lumayan banyak.Akhirnya anak Bapak Tukang Beca, Tukang Sayur, Pegawai Rendahan, harus sekolah asal sekolah saja, atau bahkan putus sekolah.Kadang sebagai rakyat, mereka merasa asing di negeri ini.
Kita perlu bertanya kepada pemerintah, mengapa harus ada sekolah yang notabene siswanya anak pengusaha, hanya suku bangsa tertentu yang ada disana, terletak di jantung kota, pagi dan siang menimbulkan kemacetan jalan raya karena sebagian besar mereka diantar dan di jemput pakai mobil mewah, sudah begitu dihormatikah orang ini ?
Apakah pemerintah tak bisa membuat peraturan agar sekolahnya mewajibkan siswanya pakai angkutan yang disediakan sekolah?
Dunia pendidikan kita semakin buram, karena perbedaan semakin tampak nyata antara sikaya dan simiskin.Buat rakyat kebanyakan cukuplah sekolah negeri, yang kadang gurunyapun jarang masuk mengajar.
Kalau ini berlanjut tanpa ada perhatian, maka kita tinggal menunggu waktu, negeri ini akan semakin terpuruk. Ingat pesang Bung Karno tentang "JAS MERAH", Jangan melupakan sejarah.
Negeri ini milik bersama, bukan milik golongan.
Semoga menjadi perhatian pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar